Selasa, 14 April 2009

Pilkada MeNdaki Tebaing dEmokRatis

Diposting oleh destika

Pilkada MeNdaki Tebaing dEmokRatis


Gairah politik di tingkat lokal belakangan semakin marak seiring dengan gelaran Pilkada yang telah direncanakan. Pilkada sendiri dijadwalkan sebagai ajang eksperimentasi demokrasi semenjak lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 yang merevisi UU No. 22 Tahun 1999 pada medio September 2004 lalu. Hadirnya naskah undang-undang tersebut memang “memaksa” belasan/puluhan propinsi serta ratusan kabupaten/kota untuk mau tidak mau menggelar hajatan Pilkada di daerahnya secara langsung.

Bicara tentang politik, sejatinya, memang hanyalah sebuah permainan. Nyaris tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat mutlak di dalamnya. Yang ada hanyalah dikotomi antara winner dan loser. Winner dapat diasosiasikan dengan kekuasaan dan perolehan materi yang lebih unggul. Sementara loser identik dengan posisi underdog yang akan senantiasa berada dibawah kendali winner. Maka kemudian menjadi sangatlah wajar bila posisi puncak dalam politik selalu menjadi ajang kompetisi dan pertarungan tiada henti. Baik itu dalam skala nasional (baca: pemilihan presiden), maupun dalam skala lokal regional, yakni Pilkada.

Kita tentu telah mahfum bahwa tidak pernah ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik. Keabadian hanyalah menyangkut kepentingan. Sepanjang kepentingan antar para pihak selalu sama dalam usahanya menggapai puncak kekuasaan, lawan pun dapat beralih peran menjadi kawan dalam bekerja. Hal itu perlaku pula sebaliknya.

Sudah menjadi lagu lama pula bahwa selama ini pendidikan politik dalam masyarakat terasa kurang. Setali tiga uang dengan penegakan demokrasi serta paham tentang taat hukum dalam kehidupan bernegara kita yang masih timpang. Celakanya, cacat ini kemudian dimanfaatkan sebagai peluang untuk merebut kekuasaan dengan cara-cara yang sudah memasuki wilayah grey area. Salah satunya adalah melalui politik uang (money politics).

Ketika Bush menang tipis dari Gore dalam pemilihan presiden beberapa periode lalu, Gore segera menyampaikan ucapan selamatnya dan menyatakan bahwa dirinya mendukung sepenuhnya pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Bush. Kisah semacam itu tentu banyak terjadi di belahan bumi yang lain, tetapi nampaknya masih terlalu utopis untuk bisa terwujud dalam dunia politik di Indonesia.

Kita memang tidak bisa berharap terlalu banyak agar kisah gentleman seorang Gore dapat dijumpai di negeri ini. Jangankan mengakui kekalahan dan memberikan selamat kepada pemenang muncul justru koalisi baru untuk membentuk friksi tandingan. Memang benar bahwa rambu-rambu berupa etika dan moral masih sering diacuhkan dalam kehidupan politik di negeri kita tercinta ini. Akan tetapi tentu tidaklah bijak dengan menuduh atau bahkan menyalahkan tanpa memberi solusi yang baik untuk keluar dari persoalan semacam ini.

Pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono nampaknya telah mencoba meletakkan pondasi yang kokoh bagi penegakan demokrasi dalam sistem masyarakat. Masyarakat sendiri memang pantas menaruh harapan besar bagi terwujudnya tujuan mulia tersebut. Akan tetapi, berharap banyak untuk itu sama artinya dengan “menanting” diri sendiri, siapkah kita untuk menuju kepada masyarakat demokratis seperti apa yang selama ini kita cita-citakan?

Menetapkan harapan semacam itu tentu bukan hal yang salah. Akan tetapi tentu diperlukan adanya suatu imbangan, antara kesiapan dari dalam diri masyarakat sendiri, maupun kesiapan dari sisi pemerintah selaku penyelenggara jalannya lalu-lintas politik sekaligus pengawas dan regulator. Imbangan tersebut diperlukan agar kendala substantif seperti minimnya peraturan pelaksana yang mengatur, maupun kendala teknis seperti dana yang masih terbentur dapat dieliminasi dengan maksimal.

Marilah kita sedikit bersikap positive thinking bahwa pemerintah tentunya telah mempersiapkan segenap armadanya dengan matang. Pemerintah saat ini telah dilengkapi dengan konseptor ulung dan tim pelaksana yang piawai dalam menjalankan tugasnya. Mereka jelas telah membuat guideline bagi seluruh aparat terkait agar pemilihan kali ini dapat terbebas dari praktik-praktik yang kurang baik. Mereka pastinya juga telah melakukan treatment kepada eselon dibawahnya, sekali lagi, untuk memastikan agar proses pemilihan ini berlangsung dengan mulus. Kita tentu tidak boleh pesimis. Kalau memang terdapat personel yang kurang mampu diajak bersih, ganti saja dengan personel lain yang lebih kompeten.

Mekanisme teknis dalam sistem masyarakat yang secara otomatis diharapkan mampu menjamin tegaknya demokrasi biarlah menjadi urusan pemerintah. Selebihnya, mari kita sambut pemilihan pemimpin daerah ini dengan penuh antusiasme dan partisipasi yang penuh didalamnya. Hindari praktik suap-menyuap maupun tindak pelanggaran ilegal lainnya. Apabila menjumpai praktik-praktik yang melanggar aturan, laporkan saja kepada KPUD tanpa harus menunggu proses audit yang berlarut-larut. Dengan demikian, mudah-mudahan kita bersama dapat melangsungkan proses Pilkada dengan baik dan melahirkan hasil yang berkualitas. Demokrasi sejatinya memang merupakan moving target, dan kita harus selalu belajar banyak untuk itu.

Akhirul kalam, ada baiknya kita mencoba untuk sedikit lebih fair. Kekurangan-kekurangan yang masih muncul dalam sistem pemilihan daerah yang baru ini tentu masih perlu untuk dikritisi. Tenggat waktu yang sempit, keterbatasan dana, atau bahkan sosialisasi yang kurang jelas masih perlu diperbaiki. Akan tetapi, itikad baik pemerintahan baru yang mencoba membawa angin segar dalam jalannya praktik pemerintahan tentunya menjadi sesuatu yang harus kita acungi jempol.

Tentunya telah menjadi harapan kita bersama agar hajatan akbar ini dapat menjadi batu loncatan yang baik bagi terciptanya masyarakat yang lebih demokratis dan mampu menghargai kebebasan dalam berpolitik. Mendaki tebing demokrasi yang terjal memang merupakan perjalanan panjang. Tetapi dengan ketulusan serta persiapan yang matang tentunya pencapaian yang akan diperoleh cukup worth it nantinya.

0 komentar:

Posting Komentar